Renungan Bis Kota

Tatapan Mata Itu

Memancarkan kepahitan hidup.

Lalu terbersit khayalan dalam benakku, dia sama seperti aku, seperti kita juga…
           
Senin petang dalam sebuah bus oranye 69, naiklah tiga orang anak muda dengan potongan preman khas anak punk jalanan. Seperti pengamen-pengamen sebelumnya, melirik pun orang malas, apalagi melihat dan mendengarkan alunan nyanyian dari bibirnya, itu juga kalau bisa disebut nyanyian.
            
Bau minuman alkohol menguar dari mulutnya, tatapan mata yang tidak fokus seolah tak kuat membuka mata, bicara pun cadel seperti para pasien penderita stroke. Uang tanda kasih? Tentu tak ada karena penumpang sudah antipasti terlebih dahulu.
          
Acara mengemis berselubung mengamen pun usai. Tinggallah seorang anak jalanan tersebut, duduk di lantai di bagian depan bis. Menghadap ke arahku yang duduk di baris kedua dari pintu keluar sebelah kiri sopir.

Saat itu tanpa sengaja mataku menatap ke dalam matanya yang sedang memandang jauh. Pahit, pedih, kecewa, marah, nyaris kehilangan harga diri tapi masih tetap berjuang hidup meski tanpa asa dan idealism, sekedar menyambung hidup dari hari ke hari.
            
Pikiranku melayang kepada adikku yang mungkin seumuran dia. Lalu seperti sebuah film, terlintas gambaran asal usul pemuda jalanan tersebut. Seorang anak lelaki yang sedang dalam masa pencarian, bermasalah, bertengkar dengan orang tua, memilih untuk pergi dari rumah demi menyongsong ego idealismenya. Namun jalanan tak seramah yang ia duga, tak sejinak yang ia kira. Koa Jakarta dikenal sebagai kota yang tak ramah, kehidupannya berat terlebih lagi di jalanan. Jangankan idealism yang tercapai, ia pun harus berjuang menyambng hidup. Rokok, minuman keras, lem, sedikit oplosan mengalihkan kepedihannya sementara saja.
            
Mungkin beberapa kali terbersit pikiran pulang ke rumah, namun ia ingat dan malu karena belum bisa membuktikan ego kekerasan kepalanya, bahkan harus menjadi pecundang yang makin hari makin terpuruk tak punya harapan. Padahal kemungkinan besar orangtuanya akan menyambutnya terharu dan memaafkannya.
  
Sebuah jiwa muda penerus bangsa pun menjadi sia-sia. Tak hanya satu, ratusan, ribuan, jutaan. Adakah yang peduli? Kualihkan pandanganku pada penumpang lainnya. Kusisir satu per satu semampuku. Yang ada hanya lamunan, hanya raga yang pikirannya entah di mana.
Naik lagi calon pengamen baru. Kali ini seorang ibu muda kurus ceking hitam pekat rambut terurai kusut dengan orok dalam gendongan. Yang mengeluarkan serentetan kata. Bukan puisi, bukan pula nyanyian meski kata-kata itu kuketahui disitir dari lirik lagu band terkenal. Sorot matanya memancarkan kepalsuan, ya, dia menggunakan anak dan ketakberdayaannya sebagai perempuan untuk mendapatkan uang. Tapi matanya tidak sepahit anak jalanan sebelumnya.

Bicara tatapan mata, terkilas pandangan mata karyawan-karyawan yang menjadi anak buahku. Kutemukan keikhlasan, kesederhanaan, kejujuran, kepatuhan, kesetiaan, dan sedikit letih pada mata itu. Sinar yang sama yang kutemukan di mata seorang petani, nenek-nenek tua yang berdagang di pasar, orang dusun di pelosok, di gunung, di pantai. Sederhana namun bersahaja, harus banting tulang kerja keras demi sepeser uang, namun bahagia.

Meloncat lagi ingatanku pada tatapan mata pelanggan di tokoku yang begitu tinggi hati bahkan anaknya pun jauh lebih sombong lagi. Dompetnya penuh dengan kartu kredit emas. Dalam hatiku, “ Klo cuma itu sih, emak gwe juga punya…” Tapi kami harus tetap tersenyum sebenci apapun kami pada pelanggan tersebut, sehina apapun mereka memperlakukan kami, kami tetap tersenyum. Senyum kami pun semakin mengembang ketika kartu tersebut digesek failed, ganti kartu pun sama, sampai akhirnya membayar dengan uang tunai. Ternyata overlimit…

Bagaimana dengan tatapan mataku?

Seringkali aku dikagetkan oleh teman. Ngelamunin apa sih? Tak ada lamunan, tak ada ingatan, hanya memandang. Bukan pingsan, tak sadar, tertidur. Hanya memperhatikan apa yang selama ini hanya kita lihat sepintas, merasakan apa yang selama ini aku lewatkan, mendengarkan apa yang tak pernah aku dengarkan, mencerap apa yang berlangsung dalam tubuh ini. Hening. Semua berhenti. Mungkin seperti itulah nantinya mati.


Selasa kliwon, 21 Feb 2012, 21.46, amd raya no.8
Sebuah renungan yang bahkan aku lupa pernah menulisnya...

Komentar