Renungan Puasa Hari Kedua.

Hari ini hari kedua berpuasa. Aku terbangun jam 3 dini hari oleh suara rombongan anak dengan tabuhan gendang yang berirama merdu. Tak sekedar pukulan ngawur galon, ember, panci, atau barang apa saja yang bisa didapat. Buang air kecil, gosok gigi dan mencuci muka. Seperti biasa, aku selalu makan sahur sendiri. Bapakku tak puasa karena tak kuat berhenti udud. Ibuku akan terkena serangan migren. Terkadang aku merasa kesepian. Mengharap ada yang menemani.

Kali ini aku menjalani makan sahur tanpa televisi ataupun gadget. Menyadari sepenuhnya setiap gerak tubuh dan pikiran. Membuat minuman panas, memanaskan lauk, mengambil nasi, meminum segelas air putih, menyuap buah pepaya dan kurma, lalu menyantap nasi dan lauknya. Suasana begitu tenang, cuaca sedikit dingin sehingga aku harus memakai jaket, tidak ada bising petasan dan kendaraan, yang ada hanya suara serangga malam.

Inilah hakikat puasa. Merenungi kembali setiap kesenangan dan rejeki yang sudah kita nikmati setiap hari. Bahwa kita telah begitu banyak diberi oleh alam dan mengambil lebih dari yang kita perlukan. Maka kali ini aku mengkonsumsi energi sesedikit mungkin. Aku memakan makanan yang biasa kumakan tanpa membeli sesuatu yang mengada-ada. Daging 130ribu sekilo, aku memakan ikan goreng saja dengan oseng-oseng tahu kacang panjang. Gula pasir 17ribu sekilo, aku memang tak suka minuman yang terlalu manis jadi cukup teh hangat dengan sedikit gula dan air putih 3 gelas.

Dulu, aku gemar sekali menonton tv menyaksikan acara live show lawakan yang penuh gurau tak bermutu dan bagi-bagi hadiah. Lalu bergeser ke siraman rohani. Kali ini, aku tak ingin lagi dicekoki teori. Sudah saatnya aku merenungi, memahami, dan mengalami.

Konon setelah Ramadhan usai kita menjadi murni seperti bayi. Bagaimana mungkin kita bisa suci seperti bayi ketika pikiran dipenuhi niat-niat menguntungkan diri sendiri namun dibalut selimut yang suci? Sungguh sederhana sekali dosa ini dihapus hanya dengan memberi makan orang miskin selama satu bilan, 11 bulan sisanya kita ambil hak-hak orang miskin itu lewat bisnis dan laku tak terpuji? Nikmat sekali ketika kita hanya mengubah jadwal makan kita, lalu manusia menjadi tercerahkan.

Satu hal aku paham, untuk menjadi ibarat seorang bayi yang murni, kita harus mau menjadi bayi.
Bayi yang telanjang dari niat-niat busuk. Bayi yang hanya membutuhkan sedikit sekali. Bayi yang senantiasa memiliki pikiran layaknya buku kosong, belum tercampur konsep-konsep duniawi namun senantiasa melihat dan mempelajari semua dengan kebaruan. Seorang bayi yang merasa cukup bila sedikit kebutuhannya dipenuhi namun senantiasa mempelajari sesuatu yang baru dalam kehidupan.

Maka semua yang aku miliki saat ini sudah lebih dari cukup. Bila semua orang merasa cukup dan siap untuk berhenti, tak ada lagi kerakusan yang menyebabkan kerusakan alam.... Akhirnya.. Nawaitu somaghodin an'adai fardhu syahri ramadhana hadi'isanati lilahi ta'ala. Aamiin.



Borobudur, Juni 2016.


Komentar

Postingan Populer