Dunia di Balik Lockdown -- Sebuah Imajinasi

Sudah hampir 2 bulan lebih sejak kami me-lockdown-kan diri. Hari ini aku mencoba menyortir sebuah lemari berisi buku dan puluhan  compact disc (CD). Ada CD musik, VCD, CD Playstations, DVD.

Gila ya. Sekarang kita tidak memerlukan kumpulan kepingan cakram sampah untuk menikmati musik dan film. Cukup berlangganan internet dan TV kabel, maka youtube dan berbagai program dapat diakses untuk menikmati musik, film, berita, semau kita. Tak perlu membeli kamus tebal untuk menerjemahkan bahasa. Jadilah, banyak bulatan cakram dan buku yang masuk kardus untuk dibagikan kepada yang berminat. (NB: Monggo bagi yang mau menampung aneka CD dan buku, langsung pm ya).

Di awal tahun 2000, saya pernah mengikuti kuliah bareng praktisi bersama Roy Suryo sebagai pakar IT. Pada waktu itu, beliau masih punya pemikiran-pemikiran progresif, sebelum habis energinya dimakan politik dan gosip. Waktu itu beliau cerita bahwa di masa depan, kulkas dapat menginventaris barang yang habis dan otomatis memesannya dan barang akan langsung dikirim sampai depan pintu rumah. 15 tahun kemudian lahirlah pasar online, ojek online dan bisnis ekspedisi meningkat pesat.

Saat lockdown ini, belanja merupakan salah satu cara melepas kepenatan. Entah hanya menjelajah secara daring maupun pergi ke pasar dan swalayan. Bahkan di marketplace Facebook bermunculan aneka penawaran barang dengan harga yang lebih murah daripada pasar dan gratis diantar sampai rumah. Seorang teman di Facebook terkaget melihat daftar belanjaan dari 16 toko, semua dengan harga bakul. Betapa mudahnya menemukan supplier tangan pertama bahkan langsung pada produsen barang.

Saya pun berimajinasi bila sekat negara sudah tidak ada menjadi sepenuhnya the real worldwide system. Dilihat dari kacamata emak-emak BPJS kayak saya nih. Setelah nonton food ranger, saya langsung email pedagang di distrik Chengdu untuk memesan bebek lezatnya. Besok siang sudah ada di meja makan saya. Bisnis ekspedisi sudah lintas negara. Jual beli semua berbasis online. Yang jelas mall tetap harus ada. Akikah tetap butuh pamer dan cuci mata bhok. Tapiii, mall cuma berisi outlet-outlet dengan contoh produk, tetep ya bhok, cewek harus bisa lihat dan mencoba barang sesungguhnya dan layanan purnajual buat komplain-komplain (ini juga kerjaan emak bawel). Restoran masih ada ya, kan kita tetep pengen makan dengan nuansa lain.

Manusia semakin banyak bertamasya menjelajah dunia. Jalan-jalan ke Spanyol tinggal bawa KTP saja seperti layaknya mengunjungi rumah nenek. Kita dapat bebas berbicara dengan bahasa Ibu karena setiap orang memakai headset yang lengkap dengan alat penerjemah otomatis. Tentunya layanan google translate sudah lebih canggih ya. 

Sekolah tetap bisa berjalan tetapi diakses dari manapun. Anak-anak akan bersekolah dari rumah selama tiga atau empat hari dalam seminggu. Hari sisanya adalah kegiatan outbond belajar dengan teman-temannya. Akan banyak tersedia taman kota lengkap dengan taman bermain, berbagai taman bunga semua lengkap dengan fasilitas yang memacu adrenalin, kolam renang, layanan salon dan spa, layanan baby daycare berbasis alam, serta tentunya warung makan.
Apakah masih ada istilah orang kota dan orang desa di jaman tersebut? Bagaimana dengan orang miskin dan kaya? Lalu apakah pekerjaan petani dan asisten rumah tangga akan punah? Sebentar, saya pikir dulu. 

Kehidupan manusia akan semakin praktis, efisien, dan ramah lingkungan. Kelas ekonomi manusia pun menengah ke atas. Petani menjadi strata di puncak piramida karena memiliki lahan dan sumber kehidupan bagi orang banyak. Proses bertani dan memanen sudah mekanis dan komputerisasi. Hasil panen di simpan dalam lumbung yang memiliki pendingin, daftar inventaris hasil panen langsung ter-update di layanan belanja online dan distribusi langsung kepada konsumen. 

Orang di perkotaan akan hidup dengan biaya sangat mahal, pemilikan lahan kecil, mobilitas tinggi. Kriminilitas awalnya meningkat taja,  dikarenakan profesi buruh tergantikan robot. Gelandangan, pengamen, dan anak jalanan meningkat. Namun, konsep penjara sudah direvolusi. Bangunan penjara tidak permanen tetapi bisa knock-down. Itu pun sebagai rumah tinggal narapidana saja.  Setiap napi sudah dilengkapi chip sehingga tidak bisa lari bersembunyi. Hukuman narapidana berupa disiplin hidup yang sehat mulai dari meditasi, kerja sosial dan melakukan proyek profit yang bisa membayar denda sejumlah hukuman mereka.Meditasi sama dengan isolasi diri. Mana ada orang yang kuat berdiam diri, lebih memilih dipukulin teman satu sel daripada duduk diam selama beberapa jam. Tidak semua orang bersedia kerja sosial merawat orang jompo, pasien koma, anak berkebutuhan khusus, dan pasien rumah sakit jiwa.


Namun, imajinasi indah ini buyar karena emak harus kembali ke dunia lock-down. Mainan berceceran, masih harus masak nasi, setrikaan menumpuk, dan anak yang menangis.


Sleman, 3 Mei 2020

Komentar

Postingan Populer