Learning to Attach with My Baby

Hal menarik ketika saya melahirkan bayi adalah saya tidak mempunyai ikatan emosional dengan bayi. Saya merasa kecewa dan bersalah karena tidak mempunyai perasaan sebagaimana seorang ibu kepada anaknya. Ternyata menjalin bonding dengan anak sendiri membutuhkan proses, perlu waktu berminggu-minggu bahkan bulanan.

Mengapa? Karena Ibu baru dihadapkan pada pengalaman yang benar-benar baru. Tidak ada teori yang cukup untuk membekali Ibu dalam menangani anaknya. Mungkin sekitar 20 persen, sisanya lebih ke learning by doing dan trial and error. Banyak hal yang muncul dan tidak terantisipasi. Membelikan perlengkapan bayi, senam hamil, makanan yang baik, keluarga yang mendukung, itu semua tidak cukup untuk survive.

Saat inisiasi menyusui dini, hormon dopamin tidak sukses membuat saya bahagia melihat bayi yang baru saya lahirkan. Emosi saya didominasi rasa bete akibat sakitnya jahitan perinium yang banyak sekali  (sudah dibius lokal tapi masih terasa kelur masuk jarum menjahit)  serta digantinya dokter SPOG saya di detik terakhir karena dokter pilihan saya sebelumnya kecelakaan.

Pemulihan paska persalinan mulai dirasakan setelah enam bulan. Saya yang terbiasa yoga, merasa sangat kesakitan bahkan hanya untuk berbaring savasana di matras. Dan ini sangat mengagetkan dan mencemaskan saya. Itu terjadi sekitar 7 hari paska bersalin. Saya berkonsultasi dengan dokter SPOG dan sebagai sesama perempuan berpengalaman melahirkan, "Ya memang rasanya luar biasa seperti itu. Dinikmati saja. Semua normal, tidak ada dislokasi tulang atau cedera lainnya".

Belum lagi bayi yang terbangun setiap satu jam minta disusui. Kondisi kesehatan bayi juga sesuatu yang tidak terprediksi. Anak saya lahir di usia kehamilan 42 minggu, sehingga air ketuban minim dan mempersulit proses melahirkan yang berakhir pada penggunaan bantuan vaccum. Dia lahir dengan kondisi kulitnya keriput dan kuning. Pun terdapat masalah di saluran pencernaannya, yaitu gastroesophageal reflux alias GER yang artinya lambung bayi belum berfungsi 100% sehingga hanya dapat diisi dengan batas minimal supaya bayi tidak kesakitan dan susu yang diminum dimuntahkan kembali. Maka selama empat bulan, bayi saya tak pernah kenyang dan tidur hanya sebentar.

Dan benar sekali, pengaruh hormon laktasi menimbulkan perasaan lebih sensitif dan emosional. Maka di beberapa bulan pertama keinginan berhubungan dengan suami pun sama sekali tidak ada diakibatkan sakit fisik dan emosional yang belum pulih. Sebetulnya, alam semesta sudah memberikan petunjuk dengan masa nifas 40 hari dan baru terjadi menstruasi setelah sekian bulan (saya 9 bulan karena ASI ekslusif). Pada saat haid inilah, artinya tubuh sudah siap kembali untuk reproduksi dan hasrat bercinta mulai ada, mulai kepikiran untuk ML lagi.

Di sinilah saya jadi sangat memahami mengapa ada ibu yang mengalami sindrom baby blues. Bahkan dalam kasus yang ekstrim bisa sampai menyakiti sang bayi. Banyak orang beranggapan kalau ibu baby blues itu lebay, terlalu terbawa emosi. Padahal itu adalah proses hormon dan sakitnya tubuh. Memang tanggung jawab utama Ibu tidak boleh diabaikan, emosi pun tetap harus dikendalikan. Namun, pada situasi keluarga dan perekonomian yang tidak mendukung, baby blues  akan menjadi penyakit depresi paskamelahirkan (postpartum deppression) yang lebih parah. Ketidakpahaman pada baby blues dan budaya malu untuk konsutasi ke psikolog, dapat memperparah keadaan. Meski, mayoritas norma sosial dapat menekan sindrom ini.


Dalam meditasi vipassana yang saya pelajari, saya belajar detachment, meditasi untuk melepas keterikatan dengan duniawi, menipiskan ego dan keakuan. Meditasi yang tidak lagi mengaharap kekuatan supranatural, keinginan untuk tenang, dan rileks. Tidak melamun, berhalusinasi, atau mengosongkan pikiran. Meditasi yang mencoba secara terus-menerus untuk sadar eling dari momen ke momen, detik ke detik bahwa segala seuatu yang muncul akan lenyap, yang lahir akan mati, yang mendapat akan kehilangan, segala sesuatu tidak kekal.

Dalam meditasi ini saya mempelajari bagaimana pikiran manusia melihat suatu benda/objek dan berelasi dengannya. Ketika kita melihat bunga, sebetulnya ada 5 tahap proses yang terjadi, yaitu persepsi murni, konseptualisasi,subyektifikasi, objek, dan relasi dengan objek. Awalnya hanya ada sesuatu yang terlihat. Lalu dalam kamus pikiran kita sesuatu yang bentuknya seperti itu dinamakan bunga. Bunganya lebih spesifik lagi, yaitu bunga mawar. Lalu manusia menyadari dia sedang melihat bunga mawar, ada subyek dan obyek. Lalu muncul perasaan, bunga mawar itu indah, ingin memetik atau sebaliknya bunga mawar itu berduri ingin menjauhi. Namun, dalam kehidupan sehari-hari proses ini berlangsung sekejap mata. Ketika cuci mata di mall, tiba-tiba langsung tertarik dengan sepatu, sedang diskon, dan sampai rumah terbeli sepatu, baju, dan kosmetik. Dengan meditasi, alih-alih membeli, pikiran sudah dapat dikendalikan saat muncul keinginan membeli. Bahwa itu tidak penting, meski sedang diskon. Bahwa lemari penyimpanan di rumah sudah tidak muat.

Begitulah saya dalam melihat bayi. Ini adalah seorang bayi dengan segala keringkihannya. Awalnya hanya insting sebagai Ibu yang pertama bekerja. Bayi yang menangis butuh makan, diganti popok, sakit, tidak nyaman. Lalu ketika bayi bukan sekedar obyek "bayi" melainkan bayi "ku", di sinilah sudah mulai terjalin relasi. Makin lama makin menguat. Bayiku ini lebih spesial dari bayi lain. Pokoknya paling ganteng, lucu, imut, permatanya bunda. Bila bermain dengan bayi-bayi lain, maka yang paling eye-catching adalah bayi"ku". Ketika ada suara bayi menangis, oh bukan bayi"ku", lega.

Ke-'aku'-an inilah yang bila tidak disadari nanti akan menimbulkan konflik ibu dengan anak. Ibu menjadi overprotective, misalnya.

 Seiring berjalannya waktu, naluri ibu sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Walau tetap harus belajar sabar dan prioritas. Saat ini bayiku sudah berumur 12 bulan, sehat, aktif, dan menggemaskan.


Sleman, 2 Mei 2020.






Komentar

Postingan Populer