Nilai Jual Buruh: Bunga Tapak Dara atau Pohon Durian Musangking
Awal bulan Mei ini, saya menjawab
tantangan #31HariMenulis . Kalau tidak ditantang, tidak diberi tenggat waktu,
etos menulis saya pasti melempem. Blog saya inipun dari sejak pertama dibuat
tahun 2016 terus menganggur. Histori penyimpanan artikel tulisan saya pun terhenti
di tengah tahun 2016.
Sumber kutipan:
Tantangan menulis dimulai hari ini
tepat pada Hari Buruh Internasional. Hari yang identik dengan demo peningkatan
kesejahteraan buruh. Indikator sejahtera itu seperti apa? Secara bebas, saya
simpulkan sejahtera berarti mempunyai tempat tinggal, pakaian yang baik,
makanan yang cukup, akses transportasi dan komunikasi untuk mobilitas, akses
pendidikan, akses kesehatan, akses rekreasi, dan menabung. Apabila bertanya,
apakah UMR saat ini sudah cukup menyejahterakan? Cukup itu relatif. Di
masa lockdown ini, orang dengan gaji 100 juta bisa miskin
karena tidak mampu membayar cicilan rumah, mobil, dan gaya hidup dengan embelan
"mewah".
Lalu apa itu sejahtera? Rumah tinggal
cukup dengan kontrakan, cicilan rumah sederhana, atau rumah dan tanah di desa?
Makanan apakah cukup dengan 3xmakan atau masih perlu tambahan jajan cilok dan
seblak? Pakaian, apakah setiap lebaran perlu membeli lagi yang baru atau lapar
mata membeli saat diskon atau tergoda kreditan pakaian murah? Akses transportasi
cukup dengan transportasi umum atau ambil cicilan motor dengan sambilan ojek
online? Ponsel untuk komunikasi atau tambahan bisa karaoke dan selfi? Kesehatan
sudah ada BPJS yang walaupun masih silang sengkarut tetapi sangat bermanfaat.
Sekolah pun gratis hingga SMA. Karena sejahtera itu relatif, maka saya tidak
mau bersilat lidah di sana.
Japan External Trade Organization
(JETRO) mengeluarkan laporan tahunan hasil survei terhadap
perusahaan-perusahaan Jepang di 20 negara atau wilayah, termasuk Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 5.700 responden ini, ditemukan bahwa perusahaan
yang merasa gaji tenaga kerja Indonesia sesuai dengan produktivitasnya hanya
sebesar 23,7 persen, dan sisanya tidak menjawab. 55,8 persen merasa upah dan
produktivitas tenaga kerja Indonesia tidak layak dan sesuai. Nilai
produktivitas di Indonesia adalah 74,4 atau di berada di urutan ketiga terendah
di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu, nilai produktivitas di Filipina 86,3,
Singapura 82,7, Thailand 80,1, dan Vietnam 80. Dulu kita dilirik untuk
dijadikan sebagai negara tujuan investasi, karena ada "keunggulan
kompetitif" yaitu biaya tenaga kerja yang murah. Kini era emas itu segera
berlalu. Indonesia bukan lagi tempat berbisnis dengan tenaga kerja murah.*
Jangan-jangan buruh itu sendiri yang
lupa meningkatkan nilai jualnya. Karena sistem berupa pemerintahan dan
perusahaan besar sulit untuk dirumuskan dan diubah. Tetapi perubahan itu lebih
signifikan bila dimulai dari diri sendiri. Orang-orang dengan kualitas yang baik
akan menjadi rebutan banyak perusahaan. Orang-orang yang tahu apa itu kepuasan
batin, akan memutuskan berhenti dan menikmati hidup.
Saya cukup lama membantu orangtua
merintis guest house. Saat lockdown ini,
kami hanya mempekerjakan seorang karyawan yang sudah dari tahun 2015 bekerja di
tempat kami. Gajinya UMR bahkan saat ramai take home pay bisa
di atas UMR. Nama bekennya Mak Yah. Dua karyawan yang kami rumahkan,
penjaga malam dan house
keeping. Sebetulnya di bulan pertama, kami coba
perjuangkan mereka. Mereka tidak telaten mengerjakan hal yang di luar
rutinitasnya seperti menyiram kebun, mencabut rumput, dan sejenisnya. Kami
berusaha memperjuangkan mereka agar dapur tetap ngebul, tetapi mereka tidak
telaten membantu kami merawat bisnis kami.
Kami menggaji sesuai standar, bahkan
di awal kami merintis guest house, kami hanya mampu membayar
Mak Yah seadanya. Namun prinsip kami, "marilah maju
bersama". Ketika sakit, kami bayari obatnya. Kami mengajari untuk tidak
gampang berhutang, apalagi pada renternir, hidup sederhana dan secukupnya saja,
jangan kebanyakan gaya. Cukupi dulu kebutuhan pokok, kalau bisa menabung.
Konsekuensinya, ketika ia membutuhkan biaya, kami beri pinjaman yang dipotong
bulanan dari gaji.
Kami selalu tanamkan apa yang diajarkan
eyang-eyang kami, "belajarlah mandiri, karena bila hidupmu susah, kamu
bisa survive, saat jadi kaya kamu akan hargai setiap sen uangmu.
Kalau kamu terbiasa hidup enak, nanti apabila nasibmu kurang beruntung, kamu
benar-benar akan menderita tidak tahu harus bagaimana, ditambah terjerat
hutang. Kalau kamu terampil menjalani hidup, suatu saat kamu mempekerjakan
orang lain, kamu tidak bisa dibohongi, karena kamu tidak bergantung kepada dia,
malahan kamu bisa mengajari dia."
Kami sekeluarga terbiasa mengurus
semuanya sendiri. Mencuci piring dan pakaian hingga memasak menyetrika tanpa
mengenal gender. Semua harus bisa. Sehingga Mak Yah sekeluarga juga belajar
kepada cara hidup kami.
"Itu lihat, anaknya Bu Bos saja
bisa nyapu ngepel, masak kamu cuma anak Mak Yah manja." Mak Yah mencoba
mengajari anaknya.
Kami sendiri yang mengajari bagaimana
menyapu yang bersih, mengosek kamar mandi yang benar, urutan mencuci piring
agar tidak amis, mencuci dan menjemur sprei agar awet warnanya, menakar sabun
agar tidak merusak barang dan merusak lingkungan tetapi juga hemat, cara
memilih sayur, buah, daging di pasar, dst.
Mak Yah sekarang sudah punya motor 3,
ponsel touchscreen, merenovasi rumahnya dan punya usaha memasok barang
keperluan rumah tangga ke pasar dan warung. Salah satu anaknya sudah berhasil
mentas dan bekerja. Tiga anak lainnya tidak ada yang tidak sekolah. Ia
mengabaikan olok-olok tetangganya yang betah banget bekerja di satu
tempat.
Kami juga selalu menanamkan kepada
karyawan bahwa kita sejahtera bersama. Mak Yah tahu sekali berapa pemasukan
kami dan prosentase untuk kami tidak njomplang dengan pengeluaran menggaji
karyawan. Kami tidak ingin memeras tenaga karyawan untuk keuntungan
sendiri. Bisnis jalan, kemanusiaan jalan.
Saya pernah mengobrol dengan penjual
barang antik. Dia memiliki pegawai mungkin antara 6-8 orang. Ia pun bercerita.
"Ya beginilah, Mbak. Saya paling untung tipis 50-100ribu untuk tiap
transaksi. Duitnya biar cepet muter. Anak-anak (karyawan) juga rokok sama
gorengannya nggak boleh telat. Kalau engga, mereka nggak bakal betah. Entar
satu temennya keluar, yang lain ngikut. Harus rame-rame. Padahal kalau lagi
sepi gini, saya susah juga."
Ketika guest house mulai berkembang, kami memerlukan tambahan karyawan. Sulitnya bukan main mencari cara terbaik merekrut karyawan yang tepat. Karyawan dengan tanpa/minim pengalaman muda dan fresh graduate seringnya memilih pekerjaan mudah tetapi bergaji besar. Meski lulusan SMA tetapi tidak bisa berbahasa Inggris, tidak menguasai aplikasi word dan excel, ketika diajari making room tidak telaten. Pekerjaan jaga malam paling diminati. Pikir mereka, hanya begadang, terima tamu, itu saja. Resepsionis juga paling dipilih, tetapi komputer, bahasa Inggris, dan kemampuan menjual minimalis.
Bila mempekerjakan karyawan berpengalaman, kualitas kerja tidak stabil, hanya bagus di bulan pertama. Ketika bekerja pun secara terang-terangan mengajari kami dengan sikap sok tahu bahkan berusaha mengubah SOP agar pekerjaan lebih mudah.
Kami mencoba introspeksi diri. Namun, setelah bertukar pengalaman dengan pelaku usaha lainnya, pengalaman mereka pun nyaris serupa. Karyawan berhenti tanpa pamit. Berbagai jenis reward dan punishment dilakukan, tetapi karyawan tetap saja keluar dengan berbagai alasan.
Sebetulnya berjamur program-program pelatihan SDM baik yang dicanangkan pemerintah maupun perusahaan dan LSM. Hanya saja, etos kerja yang baik tidak terbentuk bersamaan dengan mengikuti pelatihan. Kebanyakan pelatihan hanya untuk tujuan naik gaji/jabatan, formalitas, atau sekedar mendapatkan makan dan suvenir.
Saya sering mengobrol dengan orang-orang dewasa usia antara 30-40 tahun. Pengrajin bambu yang sudah ikut beberapa kali pelatihan agar lebih inovatif, tetapi tidak telaten memilih model konvensional. Petani pun telah diberi modal cara membuat pupuk organik dan benih agar ekonomis. Namun, memilih praktis membeli pupuk urea dan benih saja. Ibu-ibu tak lagi mengenal tanaman obat dan bumbu dapur apalagi repot-repot menanam sendiri di rumah.
Ada sebuah percakapan yang sangat membekas di ingatan. Seorang karyawan dengan ringannya pernah berkata,"punya uang dibelanjain, nggak punya uang ya ngutang".
Saya bertanya, "kapan menabungnya?"
Dia cuma tersenyum menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu.
Ibu saya pernah berucap, "Bunga Tapak Dara itu mudah
hidup dan menyebar tetapi mudah sekali mati dicabut. Berbeda dengan pohon
durian. Susah ditanam, harus dirawat, dipupuk, disiram, dicari hamanya, bila
berhasil hidup belum tentu berbuah, bila mau berbuah pun hanya satu dua, sampai
akhirnya ia lebat berbuah dan memberi rejeki tidak hanya kepada yang menanam
tetapi bahkan anak cucu dan orang sekitarnya."
Jogja, 1 Mei 2020.
Sumber kutipan:
Komentar
Posting Komentar