Sebuah cerpen-Duka Penyayang Anjing Yang Merindukan Anak
Sedang enak-enaknya tidur,
dibangunkan oleh jilatan anjing. Lagi-lagi Budeku melepas anjingnya masuk ke
dalam kamarku, hanya untuk mengganggu lelapku.
Budeku, janda tua tidak menikah lagi
dengan 4 orang anak, Bruno, Fanta, Keong, dan Brongkos. Itu adalah 4 ekor
anjing kampung. Iya, anaknya anjing. Bukan, maksudku Bude sudah menganggap
anjing-anjing manja itu sebagai anaknya. Anjing ini jago kandang, pandai
mengambil hati majikannya. Bude tak punya anak. Sepertinya suaminya tidak bisa
membuahi telur suburnya meski berbagai nama shinse, orang pintar, dokter sudah
didatangi. Opsi lain adalah mengadopsi anak. Tetapi entahlah, cara berpikir Bude
tak mampu kuselami, setiap pilihan dapat menghasilkan 7 kuadrat kemungkinan.
Mulai dari takut anak adopsi orangtuanya kriminal. You knowlah bibit bebet
bobot. Namun, hal yang membuat Bude berhenti mengharap anak adalah bunga mimpi
yang hadir setiap kali dalam tidurnya. Dalam mimpi tersebut muncullah anak
laki-laki yang bandel, keras kepala, bahkan menginjak kepala orangtuanya. Selalu
berulang dan berulang lagi. Kalau aku sih melihat kelakuan 4 anjing
kesayangannya, tidak meragukan mimpi itu pasti jadi kenyataan.
Di tempat kerja, aku terlibat
cinta lokasi. Usianya lebih muda, sebuah anomali karena aku menyukai yang jauh lebih
tua. He depends on me. Mungkin itu daya tarik “berondong” ini. Hahaha…
berondong ini sebuah istilah yang kejam bukan? Sebetulnya cuma selisih setahun.
Dia lulusan SMA. Aku tak masalah.
Ternyata informasi kedekatanku
dengan pria sudah sampai ke teinga ibuku. Aku memang tidak cerita sih. Nggak
penting. Cuma cinlok nggak serius. Tapi Budeku merasa harus menyampaikan update
terbaru ponakannya. Bagiku tak masalah sih. Sampai suatu keika di malam tahun
baru. Aku terpaksa lembur dan keluar kantor pukul 22.30. Ternyata pacar baruku
ini sudah setia menanti. “Ayo, kita nonton perayaan kembang api!”. Kami
berdampingan mengendarai motor. Sampailah di suatu taman tempat orang-orang
berkumpul. Tentu saja tak ketinggalan pedagang kaki lima. Motor kami parkir
begitu saja di tepi jalan. Lalu nimbrung dengan puluhan manusia di taman rumput
yang berkontur.
Esoknya aku bangun agak siang.
Sekitar pukul 9. Bude baru selesai menyantap makan paginya dan tersenyum-senyum
memandangku. Tak ada obrolan penting. Hanya ucapan selamat tahun baru. Barulah hari setelahnya saat di kantor istirahat siang, ibuku menelpon. Seperti
biasa, beliau suka menelponku di kala senggang.
“Nduk, jangan emosi ya.”
“Memang ada apa?”, aku pun ingin
tahu, pasti ini soal Bude lagi.
“Bude, kemarin telpon Ibu.
Katanya malam tahun baru kamu pulang malam sekali. Lalu Bude menemukan sepatu
kerjamu penuh rumput semak-semak. Pasti anakmu sama pacar barunya berdua di
semak-semak.”
Aku sontak ngakak geleng-geleng
kepala. “Ya ampun Bude. Kenapa nggak langsung ngobrol sama aku ya? Kenapa harus
lewat ibu ditambah bumbu-bumbu”. Kuceritakanlah perihal nonton pesta kembang
api sembari duduk-duduk di rerumputan. Namun, aku serius lagi. “Bu, habis pulang kantor, aku
cari kos saja deh, yang dekat kantor. Selain menghemat tenaga, juga menghindari
pikiran negatif. Apalagi sekarang sering lembur.”
Setelah mendapatkan tempat kos, aku pun memindahkan barang dan berpamitan. Bude sebetulnya agak keberatan
kalau aku kos. “Bukan Bude yang ngusir lho ya. Ini kemauan kamu sendiri. Bude
nggak mau disalahin ibumu atau jadi omongan orang lain.”
“Ya ampun, Budeee. Ini kan cuma
pindah kos aja, cari yang deket kantor. Masa bakal ada yang ngerasani tho”, tukasku.
Beberapa tahun selanjutnya,
adikku mendapat pekerjaan di Ibukota juga. Aku berpesan supaya tinggal di kos
saja. Tetapi dasar anak laki, dia memilih tinggal bersama Bude. Ada yang
masakin dan nyuciin baju. Aku hanya bisa menaikkan kedua pundakku, whateverlah,
nanti kamu rasakan sendiri.
Benarlah. Tak menunggu lama,
adikku sering curhat pada ibuku, lalu ibuku menceritakan kembali padaku. Bude
juga sering menelponku dan menceritakan adikku begini dan begitu. Aku bilang
pada adikku, “I’ve told you, kalau kamu memilih tinggal dengan dia karena
fasilitas, ya kamu tidak boleh complain, harus terima. Tapi saranku, mending
pindah saja, supaya nggak ribut sama saudara.” Di luar perkiraanku, adikku
betah tinggal lebih lama bersama Bude daripadaku. Namun, cerita estafet selalu menemaniku tiap minggu.
Hingga, terjadilah. Salah satu
anjing Budeku kabur. dan diduga keras akibat adikku teledor tidak menggembok pagar.
Padahal, seteledor-teledornya adikku selalu ingat untuk memasang kunci gembok
tiga rangkap di pagar, belum lagi masih ada pintu gerbang bagian dalam dan pintu rumah yang semua dilengkapi dengan kunci ganda. Mungkin salah satu tukang bangunan yang sedang bekerja
di situ merenovasi rumah. Tetapi, tuduhan sudah 100% dikunci kepada adikku.
“Tuh kan?! Mbak udah bilang supaya tinggal sendiri di kos. Sekarang Ibu sama
Mbak ikut-ikutan diboikot sama Bude. Belum lagi kalau dia menceritakan scenario
1000 kisah versinya pada dunia. Butuh pengacara satu dunia untuk memverifikasinya.
----
Beberapa tahun kemudian, Bude mak
bedunduk memencet bel depan rumah. Beruntung kami semua sedang berkumpul. Ia
dengan tas jinjing coklat tua yang baru diturunkan kenek bis antarkota. Bude masih
cempluk, tetapi lingkaran matanya sangat hitam dan cekung.
Bude sakit. Kanker ovarium.
Perutnya buncit dan sangat keras saat diraba. Ia tahu hanya kami saudaranya
yang nggak doyan gosip dan bisa menyimpan rahasia dan memang ibuku adalah adik
kandung satu-satunya. Begitulah, hari-hari terakhirnya, bude memilih tinggal
dengan kami. Anjing-anjing sudah ia berikan kepada pecinta anjing yang bisa ia
telpon kapanpun ia rindu. Setiap hari, penyakit menggerogoti badannya hingga
tinggal kulit membalut tulang. Tapi ingatannya masih tajam. Mengisi TTS adalah
kegiatan utamanya membunuh waktu. Meski telah dioperasi dan dikemoterapi,
kankernya merupakan jenis smallcells yang mudah menyebar, metastase ke
pencernaan, ginjal, dan paru.
Ia meninggal di kasurnya memangku
buku TTS yang hampir rampung diisi. Dimakamkan di atas jasad ibunya.
Jogja, 27 Apr 2020
Komentar
Posting Komentar